Berkebun
Di desa Kertamulia, hiduplah seorang pemuda bernama Arya yang awalnya tidak peduli dengan alam. Baginya, hidup adalah tentang kesenangan dan teknologi. Dia lebih suka menghabiskan waktu bermain gawai dibandingkan membantu orang tuanya di ladang. Ladang itu sebenarnya sudah menjadi warisan keluarganya selama tiga generasi, tetapi Arya menganggapnya usang dan tidak berguna di zaman modern.
Suatu hari, datanglah seorang lelaki tua bernama Pak Darman, sahabat almarhum kakek Arya. Pak Darman dikenal sebagai ahli berkebun di desa itu. Ia mendatangi Arya dengan wajah serius. “Arya, ladang keluargamu itu seperti berlian yang menunggu untuk digali. Kalau kau biarkan, kau akan kehilangan sesuatu yang lebih berharga dari apa pun,” katanya.
Arya hanya tertawa kecil. “Pak Darman, zaman sekarang orang hidup dari teknologi, bukan dari tanah. Apa gunanya berkebun kalau hasilnya tidak bisa bersaing dengan supermarket?”
Namun, kata-kata Pak Darman terus terngiang di kepala Arya. Suatu malam, Arya tak sengaja menemukan buku tua milik kakeknya yang penuh dengan catatan tentang tanaman, pupuk alami, dan cara bercocok tanam. Di salah satu halaman, ia membaca tulisan tangan kakeknya: "Tanah ini adalah ibu yang memberi kehidupan. Rawatlah dia, maka dia akan menjagamu."
Arya penasaran. Esok paginya, ia pergi ke ladang keluarganya yang sudah dipenuhi gulma. Ia mulai mencangkul, walau tanpa keahlian. Tangannya lecet, tubuhnya penuh keringat, tetapi ada rasa puas yang perlahan muncul. Hari-hari berikutnya, Arya terus kembali ke ladang, bahkan meminta bantuan Pak Darman untuk mengajarinya.
Bulan demi bulan berlalu, ladang itu berubah menjadi kebun yang subur. Arya menanam sayuran organik, buah-buahan, dan bahkan bunga-bunga yang menarik perhatian orang-orang desa. Lambat laun, Arya memahami bahwa berkebun bukan hanya soal hasil, tetapi juga soal proses—tentang sabar, kerja keras, dan menghormati alam.
Suatu hari, seorang pedagang dari kota datang ke desa dan tertarik dengan kebun Arya. Pedagang itu menawarkan kerja sama untuk memasok hasil panen Arya ke restoran-restoran besar. Arya pun menerima tawaran itu, tetapi dengan syarat: kebunnya harus tetap menggunakan cara alami dan ramah lingkungan.
Kini, Arya bukan hanya menjadi kebanggaan keluarganya, tetapi juga inspirasi bagi pemuda lain di desa itu. Ia mengajak mereka untuk kembali mencintai tanah mereka dan membuktikan bahwa berkebun adalah pekerjaan mulia yang membawa kehidupan.
Di tengah kebunnya yang hijau, Arya sering duduk memandangi hasil jerih payahnya sambil tersenyum. Ia sadar, apa yang dulu dianggap remeh ternyata adalah harta terbesar yang ia miliki. Berkebun telah mengubah hidupnya, menghubungkannya kembali dengan alam, dan memberinya tujuan yang sebenarnya.