Dimana Allah Tinggal Sebelum Bersemayam di Atas Arasy?
Ayu Sri Mulyani
Pertanyaan
ini sering kali muncul di benak umat Muslim yang berusaha memahami hakikat
Allah yang Maha Agung. Sebagai makhluk yang terbatas oleh ruang dan waktu, kita
sering kali terjebak dalam pemahaman yang bersifat fisik dan terbatas. Namun,
ketika kita membahas tentang Tuhan yang Maha Esa, kita dihadapkan pada sebuah
konsep yang melampaui segala batasan akal manusia. Allah, yang tidak terikat
oleh dimensi ruang dan waktu, adalah zat yang Maha Tinggi, yang keberadaan-Nya
tidak bisa disamakan dengan apa pun yang kita kenal.
Namun,
terlepas dari keterbatasan tersebut, pertanyaan mengenai dimana Allah berada
sebelum bersemayam di atas Arasy sering kali membuat kita merenung lebih dalam.
Apakah ada ruang atau tempat bagi-Nya, atau adakah makna lain yang harus dipahami
dari keberadaan-Nya yang tak terjangkau oleh indera manusia? Dalam tulisan ini,
kita akan mencoba menggali pemahaman tentang konsep ini, dengan mengacu pada
ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis-hadis yang ada, serta pandangan para ulama, untuk
mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai sifat Allah yang Maha
Transenden.
Dengan
memohon karunia Allah, ilmu, dan petunjuk-Nya, mari kita kaji persoalan ini
lebih jauh.
“Keruwetan Akal Membawa Keruwetan Jiwa”.
PERTAMA, dalil yang menyatakan bahwa Allah itu ada di
atas Arasy setidaknya ada 7 ayat dalam Al Qur’an yang secara qath-i menjelaskan
hal itu. Ia adalah: Surat Al A’raaf ayat 54, Yunus ayat 3, Ar Ra’du ayat 2,
Thaha ayat 5, Al Furqan ayat 59, As Sajadah ayat 4, dan Al Hadid ayat 4. Bahkan
dalam Surat Al Baqarah ayat 29 disebutkan: “Tsumma istawa ilas sama’i
fasauwahunna sab’a samawaat” (kemudian Dia istiwa menuju ke langit, lalu
Dia ciptakan 7 tingkat langit). Sebagai orang Muslim, sebelum kita berpikir
masuk akal atau tidak, semestinya harus mengimani ayat-ayat ini. Kalau tidak
demikian, berarti kita membuat syarat-syarat dalam keimanan kita. Misalnya,
kalau masuk akal diimani, kalau tak masuk akal ditolak. Janganlah demikian,
sebab hal itu dianggap tidak tulus dalam beragama.
KEDUA, dalam ajaran Islam banyak perkara yang
bersifat ghaib. Ghaib bisa karena waktu (misalnya peristiwa-peristiwa di masa
lalu, atau di masa depan). Ghaib bisa karena ruang (misalnya letaknya sangat
jauh, atau sangat kecil, sehingga tak tampak oleh penglihatan normal). Ghaib juga
bisa karena wujudnya (misalnya ada makhluk halus yang tak tampak, padahal
mereka ada dan eksis, seperti jin, Malaikat, ruh, dll.).
Di
antara perkara ghaib itu ada yang Allah ajarkan, dan ada pula yang tidak Dia
ajarkan. Contoh, hanya sebagian saja dari ribuan Nabi dan Rasul yang disebutkan
kisahnya dalam Kitabullah dan Sunnah. Terhadap berita-berita yang Allah
ceritakan, ya kita imani; adapun yang tidak Dia ceritakan, kita menahan diri
untuk tidak masuk ke wilayah itu, agar tidak menjadi sesat karenanya. Na’udzubillah
min dzalik.
Informasi
atau ilmu tentang dimana posisi Allah Ta’ala sebelum Diri-Nya menciptakan
langit dan Arasy, adalah termasuk hal-hal sangat ghaib yang tidak diceritakan
dalam Kitab-Nya. Kalau terhadap kisah Nabi-nabi tertentu yang tidak dikisahkan
dalam Al Qur’an, kita mau menahan diri untuk tidak mengorek-ngorek kisah
seperti itu; lalu bagaimana mungkin kita akan mempertanyakan posisi Allah
sebelum Dia menciptakan langit dan Arasy? Apa perlunya? Kalau misalnya kita
sudah tahu, apakah itu bisa meningkatkan keimanan, atau membuat akal justru
semakin liberal dengan fantasi-fantasi ala Bani Israil lainnya?
KETIGA, dalam Al Qur’an atau Sunnah dijelaskan,
bahwa Allah Ta’ala bersemayam di atas Arasy. Arasy itu ada di atas langit yang
ke-7. Bagaimana cara Allah bersemayam di atas Arasy, hal itu merupakan perkara
ghaib. Kita tidak boleh mengatakan, Allah disana “duduk”, “berdiri”,
“menempel”, “mengambang”, dll. Karena memang semua itu tak dijelaskan oleh-Nya
dan oleh Nabi-Nya Shallallah ‘Alaihi Wasallam. Termasuk pertanyaan,
apakah Arasy itu berupa ruang, udara kosong, dimensi nihil, atau apapun? Semua
itu tidak usah dipikirkan dan ditanyakan. Dengan sendirinya, jika Istiwa’ Allah
di atas Arasy tak usah ditanyakan, maka bagaimana keadaan Allah sebelum
menciptakan Arasy, lebih tak perlu ditanyakan lagi.
KEEMPAT, munculnya pertanyaan, dimana Allah sebelum
Dia menciptakan langit dan Arasy, hal ini lahir karena kesalahan berpikir
sangat fatal, yaitu sejak awal sudah mempersepsikan Allah seperti makhluk. Misalnya,
suatu saat kita melihat seekor burung hinggap di pohon depan rumah. Maka
pikiran logis kita akan segera bergerak: “Dari mana nih burung? Kok pagi-pagi
sudah nongol di depan rumah?” Nah, untuk makhluk, kita bisa berpikir seperti
itu,
karena makhluk terikat oleh hukum-hukum Sunnatullah yang berlaku atasnya. Dalam
masalah makhluk kita selalu berpikir “darimana ini”, “akan kemana”, “nanti
menjadi apa”, “prosesnya bagaimana”, dll. Tetapi untuk Allah Ta’ala, Dia
terbebas dari semua ikatan-ikatan hukum yang berlaku pada makhluk-Nya.
Kalau
manusia memanjat, dia akan menjadi tinggi; kalau terjun ke bawah, akan menjadi
rendah; kalau berlari akan menjadi cepat; kalau diam diri, dia tak bergerak;
kalau kehujanan akan merasa dingin; kalau tertimpa terik sinar matahari, akan
kepanasan. Manusia atau makhluk terikat hukum-hukum demikian. Tetapi Allah
Ta’ala tidak terikat semua itu. Dia bisa berbuat apapun yang Dia inginkan,
sehingga ada ayat Al Qur’an yang berbunyi: “Idza arada syai’an an yaqula
lahu kun fa yakun” (kalau Dia menginginkan sesuatu, tinggal mengatakan
“kun” maka jadilah apa yang Dia inginkan itu).
Bersemayamnya
Allah di atas Arasy adalah bagian dari kehendak-Nya. Dia ingin apapun dan
bagaimanapun, itu hak Dia sebagai Pencipta alam semesta dan kehidupan. Kita
sebagai manusia tak punya hak mencampuri urusan Rububiyyah-Nya. Misalnya,
sebelum menciptakan langit dan Arasy, Allah berkehendak demikian dan demikian,
maka semua itu hak-Nya belaka. Kita tak bisa menolak atau mencampuri. Bila
makhluk terikat oleh dimensi-dimensi, maka Allah tak terikat apapun. Dia
mandiri dan independen. “Allahus Shamad” (Allah, bergantung kepada-Nya
semua makhluk).
KELIMA, dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa ada
kalanya dalam diri manusia timbul pikiran-pikiran aneh karena bisikan syaitan.
Misalnya dia berpikir, bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Allah. Lalu siapa
yang menciptakan Allah? Nabi menasehatkan, kalau ada bisikan-bisikan seperti
itu, seorang Muslim cukup mengatakan, “Amantu billahi wa bi Rusulihi”
(aku beriman kepada Allah dan kepada Rasul-rasul-Nya). HR. Imam Ahmad.
Dzat
Allah sangat berbeda dengan makhluk-Nya. Allah menciptakan, tetapi tidak
membutuhkan diciptakan. Allah adalah Awal, tetapi tanpa diawali. Dia ada, tanpa
diadakan. Dia adalah Akhir, tetapi tanpa diakhiri. Allah bisa membolak-balikkan
siang dan malam, gelap dan terang, panas dan dingin, sesuka diri-Nya. Jadi kita
tidak perlu bertanya, “Siapa yang menciptakan Allah?” Sebab logika demikian
hanya berlaku bagi makhluk-Nya. Allah Ta’ala ada tanpa diadakan, Dia kuasa
tanpa diberi kekuasaan, Dia mencipta tanpa pernah terciptakan. Dia bisa
membolak-balikkan dimensi-dimensi tanpa berkurang sedikit pun Kemuliaan dan
Keagungan-Nya. Dia Tinggi tanpa ada yang lebih tinggi dari-Nya, Dia bisa turun
tanpa menjadi lebih rendah. Allah tidak terikat sifat-sifat makhluk-Nya.
Kalau
manusia mencari hal-hal di luar semua itu, ingin menerobos hakikat-hakikat
seputar Sifat Rubibiyyah Allah; demi memuaskan hawa nafsu akalnya, jelas dia
akan binasa. Na’udzubillah min dzalik. Ketahuilah, akal manusia dibatasi oleh
hukum-hukum yang berlaku di alam semesta (universe). Sedangkan Allah bebas dari
semua hukum-hukum itu. Sekali-kali, jangan memahami Allah dengan ukuran-ukuran
makhluk-Nya.
KEENAM,
ada logika yang diyakini sebagian
orang, “Kalau Allah di atas Arasy, lalu dimana Dia sebelum Arasy itu
diciptakan? Apakah Dia sebelumnya berada di suatu “tempat”, kemudian pindah ke
atas Arasy? Mungkinkah Dzat Allah berpindah-pindah? Sungguh mustahil.” Logika
demikian kan sangat kelihatan kalau si penanya berpikir dalam dimensi makhluk.
Dia ingin memahami Allah dengan persepsi makhluk. Sebenarnya, Allah mau
mengambil “posisi” dimanapun, itu hak Dia. Andaikan Allah tidak menunjuki
diri-Nya di atas Arasy, tidak ada masalah bagi-Nya. Tetapi karena kasih-sayang
Allah, di atas Keghaiban-Nya, Dia ingin memudahkan manusia memahami keghaiban
itu, maka Dia berkehendak istiwa’ di atas Arasy. Dengan demikian, manusia
mendapati satu kemudahan ketika ditanya “aina Allah” (dimana Allah). Maka kita
bisa menjawab secara pasti: Fis sama’i ‘alal Arsy (di langit, di atas
Arasy).
Mungkinkah
Allah berpindah-pindah dari satu posisi ke posisi lain? Mula-mula, Anda harus
bebaskan Dzat Allah dari ikatan-ikatan yang berlaku atas makhluk-Nya. Makhluk
dibatasi oleh dimensi-dimensi, sedangkan Allah bebas dari semua itu. Kemudian,
ingat selalu bahwa Allah memiliki Sifat Iradah (Maha Berkehendak). Kalau
Allah berkehendak berbuat sesuatu, tidak ada satu pun yang mampu
menghalangi-Nya. Seperti sebuah doa yang diajarkan oleh Nabi Shallallah ‘Alaihi
Wasallam: “Allahumma laa mani’a li maa a’thaita, wa laa mu’thiya li maa
mana’ta” (ya Allah, tidak ada yang sanggup menolak apa yang Engkau berikan,
dan tidak ada yang bisa menerima apa yang Engkau tolak).
Jika
demikian, lalu bagaimana insan-insan yang lemah, otak-otak yang bodoh, dan hawa
nafsu yang meluap-luap ini, hendak menolak Sifat-sifat Allah, jika Dia
berkehendak terhadap sesuatu. Itulah bahayanya, cara-cara Takwil itu nantinya
kerap kali menjadi jalan untuk mengingkari Sifat-sifat Allah. Mulanya Takwil,
lama-lama menjadi Jahmiyyah atau Zindiqah (atheis). Na’udzubillah wa
na’udzubillah min kulli dalik.
KETUJUH, para ulama sering mengatakan “tafakkaruu
fi khalqillah wa laa tafakkaruu fi dzatillah” (silakan berpikir tentang
ciptaan Allah, namun jangan berpikir tentang Dzat-Nya). Ungkapan seperti ini
tidak mengada-ada. Bukannya manusia tak boleh berpikir tentang Allah, tetapi
otaknya tak akan bisa memahami Dzat Allah dengan segala Sifat-Nya. Dalam Surat Al
A’raaf ayat 143, Musa ‘Alaihissalam pernah meminta ingin melihat Dzat
Allah. Kemudian Allah berkata kepada Musa, “Lan taraniy” (engkau tak akan
sanggup melihat-Ku). Lalu Allah memperlihatkan diri-Nya kepada gunung, seketika
itu gunung tersebut hancur berkeping-keping karena takut kepada Allah. Melihat
gunung hancur, Musa langsung pingsan. Hal ini merupakan batas demarkasi sifat
kebebasan manusia dalam mendayagunakan potensi dan kekuatan nalarnya. Manusia
tak boleh melebihi ambang demarkasi itu, agar otak dan kehidupannya tidak
menjadi binasa. Nas’alullah al ‘afiyah.
Singkat
kata, dimana kedudukan Allah sebelum menciptakan langit dan Arasy, semua itu
adalah keghaiban belaka. Sama ghaibnya dengan bagaimana keadaan Allah
beristiwa’ di atas Arasy. Kita tidak dibebani kewajiban untuk menelisik
masalah-masalah seperti itu. Akal kita tak akan sampai pada kebenaran hakiki
dalam hal seperti ini, kecuali kelak kita bisa tanyakan semua itu kepada Allah
Ta’ala di Akhirat nanti (dengan syarat, harus masuk syurga dulu).
Dalam
pertanyaan seperti ini tak ada penjelasan yang bisa memuaskan akal secara
sempurna, kecuali akal orang-orang beriman yang rela mengimani Kitabullah dan
As Sunnah; serta tidak menjadikan otak-nya sebagai hukum dan agama, dalam
kehidupan ini.
Semoga
bermanfaat, berkenan, dan mendapat barakah dari Allah Ta’ala. Allahumma amin.
Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.
Wallahu
a’lam bisshawab.