Februari
Kalau dipikir-pikir, waktu cepat banget berlalu. Perasaan kemarin baru saja lho merayakan tahun baru, eh sekarang sudah memasuki bulan kedua. Bulan dimana aku harus kehilangan sosok orang tercinta di kehidupanku.
Sedikit cerita, tahun 2020 seharusnya adalah tahun yang penuh dengan cita rasa. Ya, di tahun tersebut saya mendapatkan beberapa hal yang saya anggap sebagai pencapaian. Di sisi lain, saya juga merasakan titik terendah dalam hidup, tepatnya di bulan Februari. Saya kehilangan Bunda, seseorang yang paling saya sayangi.
“Ketika ibumu masih tersenyum, dunia akan baik-baik saja”. Saya selalu percaya dengan kalimat tersebut. Alhasil, ketika kehilangan, saya merasa dunia sedang tidak baik-baik saja. Butuh waktu agak lama sampai saya agak menerima keadaan ini.
Ada satu kutipan menarik dari buku Dunia Sophie, kurang lebih seperti ini “kita memang dibiarkan memasuki dunia yang indah, kita bertemu satu sama lain di sini, saling menyapa dan berkenalan bersama sejenak. Lalu kita akan kalah dan lenyap dengan cara yang sama tidak masuk akalnya seperti kita datang”.
Kutipan tersebut cukup dalam, setidaknya bagi saya. Dan dari sana, saya cukup bersyukur bisa terus hidup, membuka cukup banyak lembaran baru, memulai kehidupan baru. Dan tentu saja menerima hal-hal baru juga.
Kehilangan memang selalu memuakkan. Apalagi kehilangan seorang ibu. Setelah kehilangan Ibu, tentu banyak hal yang terjadi. Selain sedih, ada banyak hal yang berubah dalam hidup. Iya, setelah kehilangan bunda, aku belajar baaanyak sekali hal baru. Mulai dari beragam sudut pandang baru, cara melakukan ini-itu, sampai dengan pemaknaan dalam setiap aktivitas. Semua itu mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku.
Kehilangan memang cukup tidur. Tapi lambat laun, kita akan semakin menerima, dan akhirnya menyadari secara utuh bahwa ia adalah sebuah keniscayaan yang tak dapat diubah. Iya, bukan harusnya gimana, tapi setelah ini harus bagaimana. Susah sih, tapi pelan-pelan tetap harus dicoba untuk diikhlaskan.
Dulu, saya agak kesulitan untuk mengerjakan tugas rumahan, serta mengatur jadwal rutinitas harian. Sekarang, saya sangat menikmatinya. Pagi hari masak, beberes rumah, menyiapkan bekal kakak & berkutat dengan segala kerempongan di pagi hari. Haishhh, hidup memang cuma butuh adaptasi.
Saya masih ingat, betapa beratnya Ramadhan pertama tanpa seorang bunda. Alarm terbaik untuk bangunin sahur adalah bunda, karena itu saya sering telat sahur. Pun lebaran pertama tanpa seorang bunda juga menyusahkan.
Saya agak kesusahan untuk menggambarkan bagaimana rasanya. Aku hanya bisa mengatakan setelah bunda tidak ada, mengunjungi keluarga seperti berkunjung pada ingatan. Iya, selalu ada jejak bunda dalam setiap sudut pembicaraan.
Dulu, saat mendengar suara takbir hari raya, aku sering merasa haru. Tapi sekarang berbeda, rasanya berubah menjadi sesak, hambar, dan tak lagi sumringah.
Meski sudah banyak tenaga yang mengelak dan menghibur diri dengan banyak hal. Tetap saja tidak bisa. Kesedihan adalah sebuah emosi yang tidak ada tombol on/off nya. Artinya hal tersebut hanya bisa diterima, diakui, dan dimaafkan saja.
“Maafkan semua yang lalu, ampuni hati kecilmu”. Sepenggal lirik lagu dari Tulus, entah kenapa begitu sentosa didengarkan saat sedang kehilangan. Yah, aku percaya, semuanya cuma butuh adaptasi aja kok. Sisanya akan baik-baik saja.
Untuk yang masih ada ibu, rawat dia baik-baik. Ingat, di telapak kaki saja ada surga, apalagi di senyumannya.