Lembaran Kecil 2024


         Ini adalah catatanku. Catatan mengarungi lembaran 2024 yang penuh dengan coretan mendebarkan, momen-momen yang membuat jantungku selalu berdebar kencang dan rasa cemas yang menyeramkan. 

       Yaps... Ini adalah catatan baru dari periode hidupku setelah kurang lebih sepuluh tahun berada di dunia pesantren. Dunia yang tak semua anak remaja ingin merasakan, dunia yang kata anak sekarang mengerikan, dunia yang mereka bilang ketinggalan zaman, dunia yang penuh dengan hafalan dan aktifitas keagamaan dari bangun tidur hingga terlelap kembali. Dan akhirnya aku kembali di kehidupan manusia pada umumnya.

       Ini adalah catatanku. Periode yang membuat kepribadianku berubah drastis, periode yang memaksaku untuk menjadi manusia yang keras untuk melawan realitas kehidupan yang tak pernah ada kelembutan.

   "Atas nama M. Ashhabul Kahfi, silahkan masuk ke ruangan !"

    Deg.... Jantungku berdetak semakin cepat, lidahku kelu, seketika sirna seluruh isi kepalaku yang lebih sejam tadi diisi dengan materi-materi Nahwu, sharraf, ushul dan kaidah fiqih, ar-risalah dll.

    "Ayo. Kamu pasti bisa, semangat !" Ujar kawan di sampingku sambil menepuk pundakku. Yang kurasa cukup keras.

     Rangkaian kalimat itulah yang terus menghantuiku selama mencatatkan tinta di lembaran 2024.

JANUARI 2024

       Waktu terus berputar bersamaan dengan matahari dan menghasilkan siang malam, tapi aktifitasku tak jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Bangun sebelum subuh, sholat di masjid, ke sekolah, asrama, mengaji terus berulang dengan rentetan yang sama. Sesekali berubah karena libur dan itu adalah hari jum'at.

      Rutinitas ini kulakukan sejak 2014 saat usiaku menginjak taraf SMA hingga di ujung masa pengabdianku. Berada di lingkungan pesantren cukup lama membuatku sesekali meremehkan aturan merasa paling senior dan bebas melakukan segal hal yang ku mau, apalagi status sebagai pengurus membuat mentalku seolah-olah dua tingkat di bawah para pengasuh dan wakil pengasuh. Mental yang buruk untuk terus dilanjutkan hingga hari ini.

      "Roy... !" Panggilku dari balik ruangan.

      "Iya ustad..!" Roy menyahut dari teras asrama diiringi langkah tergesa-gesa menghampiri sumber suaraku.

      "Ustad ingin minta tolong untuk membelikan nasi. Sebab hari ini ustad ada kuliah dan in syaa Allah pulang sore. Nanti kamu letakkan di tempat ustad saja !"

       "Iya ustad.. lauknya seperti biasakan ustad?"

Aku menganggukkan kepala bertanda menyetujui pertanyaan Roy sambil mengajungkan jembol tanganku. Inilah salah satu kekuasaanku. Hanya diriku yang dapat memerintah seluruh anak asrama untuk hal-hal sepele. Sungguh tidak baik jika ku kenang hari ini. Sepertinya aku harus meminta maaf kepada mereka setelah mereka keluar dari pesantren.

       Hari-hari berlalu dengan durasi yang sama, aku masih menjadi pengurus asrama bahkan menjadi ketua di blok A Unit 1. Kesibukakanku di lingkuangan pesantren semakin banyak. Mulai dari menjaga dan mendidik anak asrama dengan perbedaan tingkat usia tambah lagi aku sendiri masih harus menempuh pendidikan serta kewajiban-kewajibanku sebagai santri. Tapi aku menyadari bahwa masa-masa inilah yang suatu hari nanti akan aku rindukan. Aku belajar dari berbagai konflik serta berbagai problem mereka, aku belajar bagaimana caranya memberikan keputusan, aku belajar bagaimana harus mendidik anak sebelum aku benar-benar memiliki seorang istri dan anak, aku belajar lebih cepat arti dari kedewasaan. 

      Minggu berlalu tepatnya akhir bulan januari tiba hari yang membuat teman sekelas dan se-angakatanku dibuat resah dan susah tidur. Ya.. itu adalah hati ujian Ar-risalah bagi santri senior di madrasah ulya. Hampir setingkat dengan membuat sekripsi bagi mahasiswa SI di Perguruan Tinggi.

      "Ruang sidangmu berapa?, siapa yang menguji ?, aku nervous !," ujar teman-temanku dengan keresahannya masing-masing. Hari ini masih pagi sekitar pukul 06:30 tapi suasana sudah sangat panas dan brisik. Aku duduk di luar ruangan sidang seolah-olah tenang dan tak peduli mendengarkan celotehan mereka, padahal dalam kepalaku berkecamuk pikiran dan perasaan menanti giliran sidang. Beberapa jam kemudian.

       "Atas nama Muhammad Ashhabul Kahfi, silahkan masuk ruang sidang..!" Ujar salah satu guru dengan lingkaran bola mata mengeksplor ke beberapa santri mencari diriku.

       "Iya ustad...!" Jawabku smbil berdiri dan berjalan menuju ruang sidang. Jantungku semakin cepat berdetak, lidahku kelu, aku lupa minum sebelum masuk ruangan. 

        "Payaaahh..!" Ujarku dalam hati.

Keringat dingin keluar tidak beraturan membasahi kulit, otak dan jantungku bekerja lebih keras, berusaha mempertahankan argumentasi yang telah terlanjur ku tulis didalam Ar-risalahku dari pertanyaan-pertanyaan dua penguji sidang. Itu adalah 50 menit terlama dalam bulan ini.

      "Baik. Sudah cukup sidang kali ini untuk saudara Kahfi, terimakasih atas upaya dan semua jawaban yang telah di keluarkan. Selamat, malam ini anda bisa tidur nyenyak.!" Ujar ustad Irfan dengan senyum mengembang.

       "Terimakasih ustad. Assalamualaikum " aku berjabat tangan dan berjalan keluar ruangan dengan tumpukan kertas dan kitab di tanganku, terasa sedikit lega dan penuh percaya diri membuka pintu. 

       "Aku pasti lulus..!" Ucapku dalam hati.

Benar saja, seminggu kemudian mading madrasah memberikan informasi yang menyatakan bahwa namaku lulus dalam ujian sidang Ar-risalah. Senyumku semakin lebar, dalam benakku berbisik.

      "Akhirnya aku bisa berhenti..!"

MARET 2024

      "Assalamualaikum. Ustad Kahfinya ada ?" 

      "Wa alaikummussalam. Iya ada, sebentar saya panggil ya mas." 

Terdengar suara santri yang mulai masuk usia puber sedang mencariku dan sepertinya hanya menemukan anak asramaku yang sibuk dengan kepentingannya sendiri di teras Asrama.

     "Ustad, ada yang mencari sampean di depan.!" Ujar Iqbal pelan.

     "Siapa ?" Jawabku.

     "Saya tidak tahu ustad." Jawab Iqbal sesekali menoleh ke depan pintu asrama.

Aku berdiri mengambil songkok putih khas asramaku dengan logo Maulana Malik A.01. berjalan kedepan pintu asrama menghapiri santri yang mencariku. Ku rasa aku juga tidak kenal dengan santri ini.

     "Ustad.. orang tua sampean sudah datang dan menunggu di depan gerbang pesantren di samping pos satpam.." ujarnya dengan suara sedikit besar, mungkin karena usia pubernya yang merubah suaranya..

     "Iya. Terimakasih ya mas." Jawabku dengan senyum seadanya.

     "Sama-sama ustad. Assalamualaikum." Jawabnya sambil berbalik badan dan pergi.

      "Wa alaikummussalam." Aku menimpali..

      Mendengar informasi itu, aku segera berganti pakaian dan menghampiri kedua orang tuaku. Itu adalah pertemuan pertamaku setelah 3 tahun tidak melihat wajahnya sama sekali. Wajah mereka semakin menampakkan garis menua, ini bukan wajah yang ku jumpai dulu ketika diriku akan berangkat ke pesantren, mereka telah berusia senja, tegap punggung dan dadanya sudah tak lagi sama. Ya.. mereka telah menua. Mereka datang dari Sulawesi Selatan. Jelas perjalanan yang cukup melelahkan untuk bisa sampai ke ujung timur pulau jawa tepatnya di Situbondo Jawa Timur.

       Kedatangan mereka bukan tanpa tujuan. Yaps.. mereka datang untuk menjemputku pulang kembali dalam pelukan, lingkungan dan kehidupan mereka, kembali merasakan masakan ibu yang selama sepuluh tahun hanya merasakan masakan ibu-ibu kantin pesantren. "cukup membosankan".

        Semua perlengkapan dan baju, kukemasi dalam koper. Buku-buku dan kitab kuletakkan dalam kardus secara terpisah hingga tiga kardus terisi penuh. Beberapa telah kukirim ke rumah jauh-jauh hari agar tidak kerepotan ketika meninggalkan pesantren. Semua persyaratan dan prosedur rekomendasi berhenti dari pesantren telah ku jalani, mulai dari administrasi hingga berpamitan kepada pengasuh yang sabar mendidik jiwaku selama sepuluh tahun. Itu adalah hari yang melegahkan sekaligus menyedihkan sebab harus berpisah dengan kawan-kawan ku dari berbagai pulau di Indonesia, dan mungkin tidak akan pernah aku temui ketika berada di lingkungan masyarakat ku sendiri.

       Dengan segala proses yang cukup panjang akhirnya aku resmi sebagai Alumni pesantren dan kembali pulang bersama orang tua tepat pada tanggal 1 maret. Kisahku tidak berhenti disini. Kau tahu ?.

      "Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh, kami dari keluarga besar mempelai perempuan datang kemari dengan tujuan untuk menjemput mempelai laki-laki untuk ikut dan tinggal di kediaman mempelai perempuan." Ujar seseorang yang berusia sekitar 55 tahun dengan kumis yang menghiasi bibirnya.

      Sontak hal itu membuat orang tuaku terutama ibuku tampak menahan sedih, menghela air matanya untuk tidak jatuh ke pipinya yang sudah mulai jatuh. Ayahku menjawab dengan penuh rasa hormat dan menghargai tradisi masyarakat Banyuwangi. Tentu di balik suaranya yang tegas dan berat pasti menyimpan rasa yang sama dialami oleh ibuku.

       Aku sendiri telah bertunangan dengan seorang perempuan asal Banyuwangi tepat setelah aku menyelesaikan sarjana Magisterku di bidang Pendidikan Agama Islam pada November 2023 lalu. Dan akan melaksanakan rencana pernikahan pada tanggal 05 maret 2024. Keluarga tunanganku dengan dalih tradisi dan budaya setempat menjemputku pada tanggal 03 maret 2024. Yaa.. itu tepat 2 hari setelah aku keluar dari pesantren. Hal ini yang membuat kedua orang tuaku merasa terkejut dan sedih, sebab hal ini tidak pernah terjadi dalam teradisi lingkungan bugis kampung halamanku. Tapi dimana kita berdiri di situlah langit dijunjung. Kami harus mematuhi tradisi dan budaya yang berlaku.

       "Yaa. Muhammad Ashhabul Kahfi, Angkahtuka wa zawwajtuka Latifaturr Rohmah bil mahri madzkur haalan"

       "Qobiltu nikaha ha, wa tazwijaha bil mahri madzkur haalan." Jawabku dengan tegas sedikit bergetar.

Sontak semua keluarga dan kerabatku mencucurkan air mata, semua berpelukan menyaksikan kejadian itu tidak terkecuali ibu dan ayahku, air matanya tak dapat di tahan lagi mengalir membasahi kedua pipinya yang rapuh. Aku tak tahu harus berekspresi seperti apa. Sedih ataukah bahagia. Tanganku bergetar menandatangani surat-surat pernikahan. Di sisi lain, pikiranku berkecamuk. 

      "Harus ku beri makan apa istriku ini, uang tak punya, pekerjaan tak ada" gemuruhku dalam hati.

Kehidupan baruku dimulai. Kau mungkin dapat membayangkan seorang santri yang baru empat hari keluar dari pesantren, belum memiliki pengalaman kerja, uang di tabunganpun tak ada bahkan di kantong celana juga tidak ada, harus menikah dan menafkahi seorang anak perempuan yang dibesarkan dan di jaga oleh orang tuanya. 

       Hal ini membuatku tak tenang, resah, harus beradaptasi dengan lingkungan dan keluarga baru. Ya, hari itu aku harus belajar menyatukan pikiran yang keras ini dengan seorang perempuan yang memiliki pemikiran 180 derajat berbeda dengan isi otakku, harus memaksa egoku yang berapi-api sejajar dengan perempuan yang lemah lembut. Ini adalah adaptasi yang menyulitkan.

       Sesekali aku termenung di depan rumah yang kurasa sepi, padahal rumah ini cukup ramai dan mengasikkan. Atau mungkin karena aku orang asing ?.

       "Apa yang harus aku lakukan ?, dimana aku harus bekerja ?, apa yang akan aku berikan kepada istriku ?, impian dan cita-cita ku gagal sebagian, semua planning setahun yang lalu ku susun hancur total, atau mungkin orang tuaku juga sama telah merencanakan sesuatu setelah aku berhenti dari pesantren yang mungkin juga gagal dan harus merubah rencana dan harapannya ?." Bisiku dalam hati dan pikiran.

        Pertanyaan itu selalu muncul terus menerus ada sedikit penyesalan. Tapi aku sadar ini semua adalah keputusanku dan aku harus bertanggung jawab.

       "Sayang.. ayok, ini sudah jam berapa ?"

       Seketika lamunanku buyar mendengar suara itu. Suara istriku yang dari tadi sibuk berdandan dan sudah selesai.

        "Iya..." Jawabku sambil memakai helm ke kepalaku dan berjalan mendekati motor.

Usia pernikahanku sudah hampir genap setahun kurang dua bulan, aku telah bekerja sebagai guru disebuah yayasana bersama dengan istriku. Ia juga telah mengandung delapan bulan buah hati kami. Ternyata semua keresahan dulu dijawab oleh Allah. Aku temerasa terlalalu pesimis dengan ke Agungan Allah, aku meragukan sifat Rohman dan Rohim Allah. Seiring denga berjalannya waktu semua keraguanku telah terjawab dan aku harus bersyukur memiliki Tuhan seperti Allah.