Memoar Tahun 2008: Menapaki Hidup Baru di Kota Pahlawan


Tahun 2008 menjadi titik balik dalam hidupku, entah karena pengecut dan lari dari masalah atau sebagai ikhtiar untuk menapaki hidup yang lebih baik, aku memutuskan untuk mengadu nasib di Kota Pahlawan. Kota ini dikenal sebagai tempat yang penuh dengan segala permasalahan, mulai dari kemacetan, polusi, kurangnya air bersih, dan masih banyak lagi.

 

Meskipun begitu, pesona Surabaya tak terbantahkan. Tempat-tempat bersejarah dan gemerlap dengan lampu kota dan taman-taman semakin membuat kota ini tampak begitu anggun dan mempesona. 

Kota ini sangat menjanjikan peningkatan kesejahteraan yang bagus bagi siapapun yang bersedia berjuang dan mengesampingkan urat malunya. 


Awal perjuanganku dimulai dengan tinggal bersama kawan lamaku bersama keluarganya di Klampis Ngasem ia adalah Irfan, seorang sahabat yang telah lebih dari 5 tahun tak bersua meski demikian entah sampai kapan ia akan terus menempati salah satu ruang di memori otakku karena kebaikan-kebaikannya. 


Di sana aku menikmati banyak fasilitas sederhana seperti ruang tamu dengan TV dan kipas angin, serta makan pagi dan malam yang disediakan secara cuma-cuma. Tak jarang, keluarga itu juga membelikanku segelas besar es jus alpukat, minuman kesukaanku atau bakso dengan beberapa potong lontong yang nikmat dan hangat sehangat keikhlasan mereka dalam menampungku. Begitulah keluarga kecil ini memuliakanku. 


Meski benakku dipenuhi segudang permasalahan yang begitu rumit dan cukup menyita waktu dan pikiran, aku tetap bisa menjalankan tugas ku dengan baik sebagai seorang pendidik di sebuah sekolah Islam favorit di Surabaya yang berseberangan dengan KBS. 

Sebulan saya menikmati belajar, bemain, dan bercengkrama dengan murid-murid yang lucu-lucu dan menggemaskan di sekolah tersebut. 

Dibulan kedua, amanah baru sebagai penanggung jawab laboratorium IPA,  mendata kebutuhan-kebutuhan bahan laboratorium serta menata barang2 yang telah bersih dicuci setelah digunakan praktikum. Semua mengalir begitu saja seolah semua baik-baik saja. 


Setelah sebulan berlalu, aku akhirnya memutuskan untuk mencari tempat kos sendiri. Aku merasa sudah cukup lama merepotkan keluarga itu, ya... Mungkin aku sudah mulai merasakan malu telah menumpang dengan gratis di rumah itu. 

Tak jauh dari tempatku mengabdikan diri sebagai pendidik  ku menemukan kos-kosan berupa sebuah kamar yang sempit dan kurang ventilasi dan terasa agak lembab, namun cukup bersih dan ibu kosnya sangat baik. 

Meski sederhana, tempat itu menjadi tempat di mana aku mulai membangun hidup baru dan mengejar impian-impianku. 


Tiga bulan telah kujalani dengan penuh suka cita, merasakan gelak tawa, celotehan siswa-siswi yang begitu memberikan hiburan dikala hati yang terus meronta di tengah badai ujian yang melanda. 


Lagi-lagi sekolah milik organisasi Muhammad Darwis menawarkan sebuah pilihan yang membuatku melepaskan sekolah yang perlahan telah mengobati luka batin yang kurasa. Berat namun sebuah harapan besar tampak secara visual begitu menggodaku. 


6 tahun kunikmati fasilitas dan kenyamanan dalam mendidik murid-murid yang konon tumbuh di sebuah tempat yang dijuluki mutiara dalam lumpur. Di tempat ini pula Alloh mempertemukanku dengan belahan jiwa, yang begitu setia dan menerima segala keterbatasan  dan kekurangan pada diriku. 


Tahun 2015 sebuah peraturan memaksaku untuk pindah dari tempat yang begitu indah dan sarat makna ke sebuah sekolah elit di Surabaya Selatan. 


Sekolah ini menyajikan pembelajaran Al Qur'an yang mempesona serta mengajarkan pelajaran akademis yang luar biasa. Tentu saja tempat ini membuatku betah dan sangat menikmati setiap proses yang ku lalui. 


Berbekal pengalaman dan kecintaanku pada dunia pendidikan waktu 2 tahun merupakan waktu yang cukup singkat bagiku untuk mendapat status guru tetap yayasan, dengan predikat memuaskan. 


Namun dikala itu pula ku menagih janji yayasan yang aku sendiri sadar kalau janji itu masih sulit untuk ditepati, dan tentu aku sadar sakit hati pasti akan ku alami. 


Kondisi ini memaksaku harus berani mengambil keputusan besar, yaitu mengubur dalam-dalam segala mimpi-mimpiku dan semua hasil belajarku 15 tahun ini. Ya memang 15 tahun bukanlah waktu yang singkat namun inilah pilihan. 


Perjuangan baru kujalani dengan penuh percaya diri, perlahan tapi pasti, atas ijin Alloh semua berjalan dengan baik bahkan sangat baik, tak lebih dari 5 tahun aku bisa mengembalikan kepercayaan keluargaku. 

Namun lagi-lagi pilihan besar harus ku hadapi. Semua kemapanan dan kecukupan ini harusku gadaikan demi meraih keridloan Ilahi. 

Banyak orang menilai ini adalah keputusan konyol dan sangat naif, namun lagi-lagi aku yakin ada Alloh yang membersamai. #cu

(Surabaya Gubeng - Jatinegara)