Mimpi Nazriel
Fajar mulai menyingsing di ufuk timur ketika Nazriel tiba di Stasiun Gubeng, Surabaya. Dengan sebuah tas ransel warna biru tua yang sudah agak kusam bertuliskan palazzo, pemuda itu menatap jauh, di sana tampak begitu ramai kendaraan berlalu lalang meski suasana masih agak remang-remang, suara klakson mobil bersahutan sangat bising untuk ukuran sepagi itu, inikah kota besar yang selama ini ia impikan. Ia menghela napas panjang, meneguhkan hati. “Ini saatnya ku memulai hidup baru,” gumamnya lirih.
Nazriel adalah seorang pemuda yang cukup tampan, ia berasal dari sebuah kota kecil di pelosok Jawa Timur. Bermodal ijazah sarjana pendidikan yang diperolehnya disebuah universitas swasta ternama di kota kelahiran yang menjadi saksi perjuangan di masa-masa sulit itu, ia nekat mengadu nasib di Surabaya. Ia tak punya sanak saudara di kota pahlawan itu, hanya selembar kertas berisi daftar alamat sekolah yang memang sedang membuka lowongan kerja. Salah satunya adalah sebuah sekolah megah yang sangat ia dambakan: Global Future Academy.
Hari itu, Nazriel langsung menuju sekolah tersebut. Bangunannya menjulang tinggi, dengan taman yang tertata rapi nan asri dan pintu gerbang otomatis yang membuatnya merasa seperti memasuki dunia lain, di ruang front office tampak tertata rapi kursi tamu yang simpel namun terkesan mewah. Hatinya sempat ciut melihat para pegawai yang begitu rapi, bersih, wangi, dan berpenampilan sangat meyakinkan. “Apa aku bisa masuk ke sini?” pikirnya.
Namun, semangat Nazriel kembali berkobar. Ia teringat pesan ibunya sebelum berangkat. “Nak, jangan takut bermimpi besar. Tuhan akan membukakan jalan jika kau berusaha.” Dengan doa dalam hati, ia menyerahkan berkas lamaran ke bagian administrasi.
Hari-hari berlalu tanpa kabar. Nazriel mulai agak cemas, ia melamar di sekolah-sekolah lain yang lebih sederhana, bahkan mencoba pekerjaan sampingan sebagai guru les privat. Namun, hatinya tetap tertuju pada Global Future Academy. Hingga suatu sore, teleponnya berdering, tak sabar ia mengangkat telepon tersebut.
“Nazriel Saputra, kami dari Global Future Academy. Anda dijadwalkan untuk wawancara besok pagi. Harap datang tepat waktu.”
Nazriel hampir tak percaya dengan kabar ini. Setelah menutup telepon ia merasa agak gugup, ia segera mempersiapkan diri dan juga berlatih micro teaching. Malam itu, Nazriel nyaris tak bisa tidur, membayangkan berbagai kemungkinan yang akan dihadapinya esok hari.
Keesokan paginya, ia mengenakan kemeja putih bersih dengan kerah shanghai yang ia simpan khusus untuk momen-momen penting. Setibanya di sekolah, ia dipersilahkan masuk ke ruang wawancara. Di sana, tiga orang pewawancara sudah siyap mununggunya menatap dengan serius namun bersahaja.
“Nazriel, apa alasanmu ingin bekerja di sini?” tanya salah seorang dari mereka.
Nazriel menjawab dengan penuh keyakinan. “Saya ingin menjadi bagian dari institusi ini karena saya percaya pendidikan berkualitas adalah kunci untuk membangun generasi yang hebat. Saya mungkin berasal dari desa, tapi saya yakin berbekal kemampuan dan pengalaman saya sebagai pendidik, saya bisa bersinergi dengan yang lain.”
Mereka melanjutkan dengan beberapa pertanyaan teknis. Meski awalnya gugup, Nazriel berhasil menjawab semuanya dengan baik. Ia merasa lega ketika wawancara selesai, meski tak tahu apa hasilnya.
Dua minggu kemudian, Nazriel menerima kabar bahwa ia diterima sebagai guru junior. Air matanya mengalir saat membaca surat keputusan itu. Ia tahu perjuangannya baru saja dimulai.
Sebagai guru di sekolah bertaraf internasional, Nazriel harus beradaptasi dengan teknologi canggih, metode pengajaran modern, dan tuntutan profesionalitas yang tinggi. Ada kalanya ia merasa lelah dan ingin menyerah, namun ia selalu teringat perjalanan panjangnya hingga sampai di titik itu.
Lambat laun, kerja kerasnya mulai terlihat. Murid-murid menyukainya karena ia mampu mengajarkan konsep sulit dengan cara yang sederhana. Rekan-rekannya pun mengakui dedikasinya. Setelah dua tahun, Nazriel mendapatkan promosi menjadi koordinator kelas.
Di depan kelas megah itu, Nazriel sering teringat pada masa-masa sulitnya dulu. Ia tersenyum, menyadari bahwa perjuangannya belum berakhir. Kota Surabaya telah menjadi saksi bagaimana seorang pemuda desa mengubah nasibnya dengan keberanian, kerja keras, dan keyakinan. #cu