Tentang bunda

Aku menulis ini dengan jari. Tapi mataku terus mengalir airmata. Mengingat ini selalu saja aku tak berkuasa. Menahannya. Bundaku meninggalku untuk selama-lamanya. Ya Allahku Tercinta. Semoga surga bagi beliau

Bundaku meninggal dunia begitu tiba-tiba. Aku terhenyak, ayahku limbung. Saat aku ingin menangis kulihat mata ayah, aku tak berdaya. tatapannya redup. Ayah seperti layang putus talinya. Ia seperti ikan menggelepar di daratan. Rindu air yang membuatnya hidup.

Malam itu untuk pertama kalinya aku melihat betapa sakitnya putus cinta. Saat itu, aku tahu rasanya patah hati. Sakitnya sungguh pedih paling perih. Menyayat hati.

Bundaku adalah cinta pertama ayah. Ayah adalah teman seumur hidup ibu. Keduanya tak pernah terpisahkan. Duka ditanggung bersama. Suka dirasa berdua. Aku melihat untuk kali pertama mata itu hilang cahaya. Aku peluk ayah. Aku bisikkan kata, "Sabar ya, Ayah."

Air matanya jatuh. "Bundamu tiada."

"Ikhlaskan ya, Ayah. Jika bunda ada salah. Tolong dimaafkan." Kataku berbisik di telinga.

“Ayah ikhlas, bundamu orang baik nduk”

Sejak kata itu muncul. Air mataku tak berhenti menetes. Semakin aku berusaha menghentikan tangisku. Air mataku justru jatuh dan terus jatuh.

Aku ingin ayah tahu aku puteri yang tegar. Jangan menangis. Tetapi semakin aku bertahan. Bendunganku bocor. Tangisku terus saja alir tiada sudi berakhir. Makin kutahan, rasaku makin tak karuan.

Aku berjalan mendekati dipan di tengah ruangan. Di atasnya, tubuh terbujur ditutupi kain putih. Rumah limas, yang cukup luas.

Aku dekati tubuh bundaku. Aku membuka penutup wajahnya. Aku ciumi berulang kali. Bagai kesetanan. Tangisku makin tak tertahan. Semua orang melihatku. Aku tidak peduli.

"Ini bunda. Ini bunda."

Aku tak peduli.

Kakakku memegang pundakku. "Kuatkan dirimu," katanya pelan.

Makin aku paksa diriku sendiri untuk tak menangis. Air mataku tak mau berhenti.

Ah, ribuan kilat potongan-potongan kenangan menghujaniku dengan deras dan gegas. Aku semakin tak berdaya. Aku duduk bersimpuh di dekat jasad bunda.

Aku ambil kitab suci kecil di saku baju. Aku tarik napas berlahan. Aku mulai agak tenang. Aku buka Alquran kecilku. Aku mencari surat Yasin dan tak juga ketemu. Saya sering membaca surat ini. Biasanya mudah saya temukan. Kali ini sungguh membingungkan. Aku buka dari depan ke belakang belum juga ketemu, aku buka dari depan lagi tak juga ketemu. Aku buka lagi, baru aku bisa sua.

Aku baca taawud, basmalah dengan lancar. Begitu aku membaca ayat pertama. Yasin. Tangisku pecah. Makin kubaca, airmataku tiada kekuatan kutahan. Terus saja ia mengalir tiada surut. Hatiku kalut. Belum pernah aku merasa kehilangan sedalam kehilangan seorang bunda. Belum pernah aku merasakan rasa sakit sedalam ini. Luka itu terus menyayat hati.

Orang yang hadir tumpah ruah. Tak ada yang berani bersuara. Sekadar mencegahku. Di sampingku kakak perempuanku memelukku. Tangisnya juga pecah. Aku tarik napas berulang kali. Aku kuat. Aku tabah. Aku ikhlas. Makin kupaksa hatiku untuk ikhlas. Ia berontak.

Semakin aku suruh tangisku berhenti, ia terus saja tak mau berhenti. Ah, itu bacaan Alquran terburukku sepanjang hidup. Perjuanganku membaca surat pendek yang kuhapal rasanya seperti menyebrangi lautan gelombang. Aku seperti mendaki Semeru. Tak juga aku temui puncaknya.

Salamun kaulam min rabbir rahim.

Tangisku makin dalam. Aku hentikan. Aku berikan kitab suci pada kakak yang duduk di sampingku.

"Aku ikhlas, Kak."

"Aku ikhlas, Kak."

"Aku ikhlas, Kak"

Ia hanya mengangguk. Tangannya terima kitab suciku. Aku usap airmata dengan kedua tangan. Aku membaca surat Al ikhlas, sebanyak yang aku bisa.

Hatiku mulai tenang. Aku lihat ke samping kiri. Ayahku di ujung sana. Ia duduk bersandar di tembok. Ia mengelap airmata dengan kedua tangannya. Dia menangis.

Ayah. Maafkan anakmu. Aku lihat ayah menatap mataku lagi.

Syukuri apa yang ada. Hidup cuma sementara. Jika kau masih punya orang tua. Sayangi mereka semua. Biar susah tak kenapa. Asal kau tak menyesal pada akhirnya. Saat mereka telah tiada. Menangis darah pun percuma.

Ah, rindu ini mengental kasih bunda selamanya kekal. Nadi darahku tertinggal jejaknya bagaikan benang terpintal. Aku terus bertahan, meski jalan ini sungguh terjal. Tak akan goyah doaku rekah. Pada Tuhan Yang Esa. Alfatihah.